Fikih Jual Beli Kredit (Bag. 7)
Syarat-syarat jual beli kredit (lanjutan)
Melanjutkan pembahasan sebelumnya terkait dengan syarat-syarat jual beli kredit, masih pada syarat-syarat yang berkaitan dengan ‘iwadh (nilai dan barang).
Syarat ketiga: Tidak boleh ada tambahan pada utang yang telah ditetapkan kepada pembeli
Maksudnya adalah ketika kredit sudah tetap nominalnya, maka tidak boleh lagi adanya tambahan nominal ataupun manfaat. Tentunya ini adalah syarat dasar dalam jual beli kredit. Utang yang sudah ditetapkan tidak boleh bertambah seiring berjalannya waktu.
Terdapat suatu riwayat yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعاً فَهُوَ رِبَا
“Setiap utang yang mendatangkan keuntungan adalah riba.”
Lafaz hadis di atas adalah lafaz yang dha’if. Diriwayatkan pula dengan lafaz yang lain,
أَنَّ النَّبِيَ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari utang yang mendatangkan keuntungan.” (Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah, dalam Musnad-nya, dan dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang matruk. Sebagiamana yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habiir, 3: 34)
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan lafaz yang lain di dalam Sunan-nya,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَا
“Setiap utang yang mendatangkan keuntungan, maka ia termasuk di antara bagian dari bagian riba.” (Al-Baihaqi mengatakan: mauquf dan hadis ini dinilai dha’if oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan juga Syekh Al-Albani dalam Irwaul Ghalil 5: 235) [1]
Sebagian besar dari lafaz-lafaz yang menerangkan tentang adanya tambahan manfaat dalam utang adalah riba adalah lafaz yang dha’if (lemah), namun secara makna benar dan ini sesuai dengan kesepakatan para ulama. Syekh Bin Baz rahimahullah dalam fatwanya menyatakan akan hal tersebut. Beliau mengatakan,
الحديث المذكور ضعيف عند أهل العلم، ليس بصحيح، ولكن معناه صحيح عند العلماء، معناه: أن القروض التي تجر نفعًا ممنوعة بالإجماع
“Hadis yang disebutkan sejatinya adalah hadis yang lemah menurut keterangan ahli ilmu, hadisnya bukanlah hadis yang sahih. Namun secara makna, hadis tersebut adalah makna yang benar menurut keterangan para ulama. Yakni, utang-utang yang mendatangkan manfaat, maka terlarang menurut kesepakatan (para ulama).” [2]
Begitupun Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah setelah menyebutkan hadis di atas beliau mengatakan,
لكنه حديث ضعيف أما معناهُ فصحيح
“Akan tetapi, hadis tersebut adalah hadis yang dha’if (lemah) namun secara makna sahih.” [3]
Sehingga dari nash-nash atau kaidah di atas, dapat diketahui bahwa yang dijadikan patokan utama dalam hal ini adalah adanya “tambahan”. Muncul pertanyaan, “Apakah setiap tambahan dalam utang piutang adalah riba dan tidak diperbolehkan?”
Jawabannya hal ini tergantung dari tambahan tersebut. Setidaknya tambahan dalam utang secara umum terbagi menjadi dua keadaan:
Pertama, tambahan yang terjadi ketika akad kredit berlangsung
Dari keadaan pertama ini terbagi menjadi beberapa jenis,
- Tambahan yang menguntungkan pengutang dan dijadikan sebagai syarat ketika akad akan berlangsung.
Sebagai contoh, A memberikan utang kepada B sebesar seratus juta rupiah. Dengan syarat, B memberikan mobilnya untuk digunakan oleh A selama satu tahun. Maka, syarat semacam ini tidak diperbolehkan. Karena syarat seperti ini adalah syarat yang batil. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلَّا شَرْطاً أَحَلَّ حَرَاماً أَوْ حَرَّمَ حَلَالاً
“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat (perjanjian) mereka, kecuali syarat yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.” (HR. Bukhari)
Tambahan yang ada dalam akad utang piutang telah dilarang. Sehingga jika syarat itu ditetapkan, maka tidak diperbolehkan karena syarat tersebut menghalalkan perkara yang haram.
- Tambahan berupa denda keterlambatan, baik dijadikan syarat atau tidak.
B berutang kepada A, kemudian A memberikan syarat adanya denda keterlambatan jika B tidak tepat waktu dalam membayar utangnya di setiap bulan. Hal ini banyak terjadi dalam jual beli kredit, dan tentunya ini adalah sebuah kezaliman.
Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiy pernah ditanya terkait dengan denda keterlambatan dalam utang, dan menjawab,
إن الدائن إذا شرط على المدين أو فرض عليه أن يدفع له مبلغا من المال غرامة مالية جزائية محددة أو بنسبة معينة إذا تأخر عن السداد في الموعد المحدد بينهما فهو شرط أو فرض باطل ولا يجب الوفاء به بل ولا يحل سواء أكان الشارط هو المصرف أم غيره لأن هذا بعينه هو ربا الجاهلية الذي نزل القرآن بتحريمه
“Sesungguhnya, jika seorang kreditur (pemberi pinjaman) mensyaratkan kepada debitur (peminjam) atau membebankan kepadanya untuk membayar sejumlah uang sebagai denda tertentu atau dengan barang tertentu jika ia terlambat membayar pada waktu yang telah disepakati antara keduanya, maka syarat atau pembebanan ini adalah batil (tidak sah) dan tidak wajib untuk dipenuhi, bahkan tidak halal. Baik yang mensyaratkan itu adalah bank atau pihak lain, karena ini adalah riba Jahiliyah yang persis sama dengan yang diharamkan oleh Al-Qur’an.” [4]
- Tambahan yang menguntungkan pengutang tanpa syarat di awal akad, namun terjadi ketika akad sedang berlangsung.
Sebagai contoh, B berutang kepada A, tanpa ada syarat apapun. Namun setelah berjalannya waktu, A meminta B untuk menambah beberapa persen dari utangnya. Jelas hal ini tidak diperbolehkan, bahkan ini lebih zalim dibandingkan tambahan dengan syarat di awal akad.
- Tambahan yang menguntungkan pengutang dan pemberi utang tanpa syarat di awal akad.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah beliau membolehkan hal ini dan beliau memberikan contoh seperti berikut ini,
A memiliki tanah yang telah ia tanami. Lalu, B (petani/penggarap) datang kepada A dan berkata, “Saya sekarang tidak memiliki ternak untuk membajak tanah.”
Maka, A berkata kepada B, “Saya akan meminjamimu (uang) untuk membeli ternak agar kamu bisa membajak tanah itu.”
Dalam kasus ini, ada manfaat bagi pemberi pinjaman (A) karena tanahnya sekarang akan digarap dan menghasilkan panen, dan ia akan mendapatkan bagiannya yang telah disepakati dengan penggarap (B).
Namun hal ini dilakukan tanpa adanya tambahan, kemudian kemaslahatan di sini bukan hanya untuk pemberi pinjaman saja, melainkan untuk keduanya (pemilik tanah dan petani). Pemberi pinjaman mendapatkan manfaat dari tanahnya yang digarap, dan peminjam (petani) mendapatkan manfaat dari hasil tanamannya. Maka, ini hukumnya boleh (jaiz). Karena beberapa perkara,
[1] Karena manfaat dari tambahan tidak murni untuk pemberi utang saja;
[2] Pada akad di atas terdapat manfaat bagi kedua belah pihak (pengutang dan pemberi utang);
[3] Tambahan tersebut tidak dijadikan sebagai syarat (di awal). [5]
Kedua, tambahan yang terjadi ketika akad kredit selesai (tanpa ada syarat di awal akad)
Maksudnya adalah ketika seseorang berutang atau melakukan jual beli kredit, kemudian ia ingin melebihkan nominal dari utangnya tersebut, maka hal ini diperbolehkan. Tentunya dengan syarat “tidak adanya syarat penambahan di awal akad”; dan setelah akad selesai atau utangnya lunas.
Contoh gambarannya:
A berutang kepada B untuk membeli sebuah mobil seharga seratus juta. A mencicil kepada B selama sepuluh bulan dengan nominal sepuluh juta setiap bulannya. Tersisalah bulan terakhir, A ingin membayar cicilan terakhirnya sebesar sepuluh juta. Namun, A berinisiatif untuk melebihkan nominal nya untuk B menjadi sebesar sebelas juta rupiah.
Maka hal ini diperbolehkan, karena B tidak mensyaratkan adanya tambahan tersebut di awal akad dan cicilannya lunas.
Contoh lain:
A meminjam kepada B sebesar seratus juta. Setelah lunas pembayarannya, A meminjamkan mobilnya kepada B selama satu pekan sebagai bentuk kebaikan B yang telah meminjamkan A uang. Inipun diperbolehkan.
Hal ini berdasarkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم استسلف من رجل بَكراً فقدمت عليه إبل من الصدقة، فأمر أبا رافع أن يقضي الرجل بكره، فرجع إليه أبو رافع فقال: لم أجد فيها إلا خياراً رَباعياً، فقال: أعطه إياه، إن خيار الناس أحسنهم قضاءً
“Bahwa Rasulullah ﷺ pernah meminjam seekor unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah unta-unta zakat kepada beliau, maka beliau memerintahkan Abu Rafi‘ untuk membayar unta tersebut kepada orang itu. Lalu Abu Rafi‘ kembali kepada beliau dan berkata, ‘Aku tidak menemukan di antara unta-unta itu kecuali unta yang terbaik, berumur empat tahun (unta yang lebih baik dari yang dipinjam, sehingga hargabya lebih mahal dari unta yang dipinjam).’ Maka beliau ﷺ bersabda, ‘Berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar (hutang).‘” (HR. Muslim)
Maksudnya adalah yang melebihkan pembayaran utangnya. Sehingga tidak masalah jika ingin memberikan tambahan kepada pengutang berupa hadiah atau yang lainnya, tentunya ketika akad kredit tersebut sudah selesai dan tidak ada syarat tersebut di awal akad.
Intinya, secara umum tidak boleh adanya tambahan dalam jual beli kredit. Mengingat hal itu termasuk yang terlarang di dalam syariat islam.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
[Bersambung]
Kembali ke bagian 6 Lanjut ke bagian 8
***
Depok, 15 Zulhijah 1446/ 10 Juni 2025
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
- Al-Bay’u bit Taqsith Ahkaamuhu wa Atsaaruhu fil Fiqhil Islamiy, karya Dr. Abdunnur Farih Ali.
- Ahkam Uqud At-Tamwiil fil Fiqhil Islamiy, karya Abdullah bin Radhiy
- Website Syekh Bin Baz rahimahullah.
- Syarhul Mumti’ ‘Alaa Zaadil Mustaqni’, karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.
- Fiqhul Mu’amalat.
- Fiqhut Taajir Al-Muslim, karya Husaamuddin bin Musa.
- Dan beberapa referensi lainnya.
Catatan kaki:
[1] Kitab Fiqhut Taajir Al-Muslim, hal. 129.
[2] Lihat https://binbaz.org.sa/fatwas/11039/
[3] Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 109.
[4] Fiqhul Mu’amalat, 3: 391.
[5] Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’, 9: 109.
Artikel asli: https://muslim.or.id/106147-fikih-jual-beli-kredit-bag-7.html